Suratan Makna: 08/01/2013 - 09/01/2013

Hari ke 21: Isya di Luar

Posted by Unknown Saturday, August 31, 2013 1 Comment/s
Setelah Hari Ke 20: Membantu Masak Bukaan. Sekarang pada Hari ke 21: Isya di Luar.

Tega sekali mereka ramai-ramai di sana makan sahur, sedangkan saya masih tertidur di kamar sendirian. Apa mereka mau membuat saya supaya tidak sahur dengan cara membiarkan saya terus tertidur? Untung saja saya bangun juga, ketika dalam tidur sayup-sayup saya mendengar ocehan mereka yang membuat ramai satu rumah. Saya terbangun, keluar kamar lalu melihat segerombolan dari mereka yang sudah mengisi penuh kursi ruang tengah yang melingkari meja di tengahnya. Di atas meja itu terlihat tidak ada ruang lagi melainkan semuanya telah diisi oleh hidangan sahur yang cukup beraneka ragam.

Sebelum menyantap sahur, saya pergi ke kamar mandi dulu untuk cuci muka. Menuju kamar mandi yang berada di luar rumah itu saya mesti melewati ruang tengah dulu yang karenanya saya pun bisa melihat apa yang mereka lakukan di ruang tengah tadi. Sekembalinya dari luar, saya langsung ke dapur mengambil bagian saya yang sudah di piring. Namun, sebelum di dapur itu saya mesti melewati ruang tengah lagi yang tampaknya tidak ada tempat lagi bagi saya untuk menduduki kursi bagus berwarna merah yang sudah diisi oleh mereka. Terpaksa, saya duduk di belakang mereka yang masih menyisakan kursi panjang yang tidak lebih bagus dari pada kursi merah tadi.

Menyantap sahur di kursi panjang yang tidak penuh diisi oleh orang telah membuat saya kedinginan, ketika pintu rumah yang dekat dengan ruang tengah itu terbuka lebar dan mempersilahkan hawa dingin dari luar untuk menyerang saya yang tengah sendirian menghadap langsung ke pintu tersebut. Berbeda dengan posisi mereka yang tidak menghadap langsung ke pintu dan ditambah lagi dengan panas tubuh mereka masing-masing yang dapat menghangatkan satu sama lainnya. Sehingga, meskipun hawa dingin itu masuk di saat posisi mereka yang tengah berdempetan, maka dinginnya itu tidak akan terlalu terasa sebagaimana yang saya rasakan dinginnya di belakang mereka. Disebabkan karena hal itu, makanya saya kurang menghendaki jika harus duduk di posisi tersebut yang mengakibatkan saya menjadi kedinginan oleh hawa pagi yang masuk. Namun, karena keterlambatan saya bangun tadi, saya menjadi kalah cepat untuk menempati posisi duduk yang enak buat santap sahur.

Sebelum shubuh berkumandang saya sempatkan untuk minum dua gelas, supaya nanti saat menjalani puasa mulut saya tidak terlalu kekeringan. Lalu, kami pun siap-siap ke Mushalla saat adzan tengah berkumandang. Pagi itu shaf laki-laki berjumlah lebih banyak dari pada shaf perempuan yang berjumlah lima orang saja dan itupun masih mereka yang merupakan keluarga besar Pak Tarmin. Usai shalat, aktifitas pribadi berjalan seperti biasa sampai tibanya pukul tujuh pagi yang merupakan saatnya bagi kami untuk melanjutkan proyek kami yang kemarin belum selesai, yaitu proyek pengecatan Mushalla. Berhubung sekarang catnya sudah beli lagi jadi pengecatan pun dilanjutkan. Tapi, sekarang kerjaan kami ditambah dengan pengecatan rumahnya Pak Tarmin yang pengerjaannya difokuskan pada bagian luar rumahnya saja.

Sebagaimana yang telah direncanakan, pukul tujuh kami langsung mengambil alat pengecatan yang baru dibeli lalu pengecatan pun dimulai. Pertama kami melanjutkan separuh dari Mushalla yang belum terselesaikan semuanya. Bagian Mushalla tersebut adalah dinding, langit-langit dan pagar kayu yang kemarin pengerjaannya terhenti disebabkan catnya yang telah habis. Setelah di Mushalla dirasa telah cukup, kemudian pengecatan beralih ke rumah Pak Tarmin. Rumah tersebut kami cat pada bagian luarnya saja, karena jika semua bagian rumahnya dicat tentunya cat yang tersedia tidak akan mencukupi. 

Memang warna bagian luar rumah beliau ini banyak yang sudah terkontaminasi oleh berbagai kotoran yang bermacam-macam. Sehingga, membuat warna asli tembok rumahnya menjadi pudar tidak karuan. Dan alasan lain kenapa bagian luar rumah beliau dicat, yaitu mengingat akhir-akhir ini adalah musimnya untuk berbenah rumah sebagai rangka penyambutan akan suasana Ramadlan dan Hari Raya nanti. Sebenarnya yang perlu dicat bukan hanya bagian luarnya saja, tapi bagian dalam pun seharusnya dicat juga karena warna bagian dalam pun sudah agak pudar. Namun, ini semua tergantung pada situasinya nanti, jika ada keputusan untuk mengecat bagian dalamnya juga maka —insya Allah— bisa. Tapi, kalau tidak, syukurlah.

Proses pengecatan pagi itu berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan, namun tetap saja kami membutuhkan waktu yang cukup lama walaupun sudah dilakukan secara bersama-sama. Sehingga, sampai tibanya waktu menjelang dzuhur pun pengecatan belum selesai semuanya. Terpaksa, kami mesti melanjutkannya besok hari, sedangkan ba’da dzuhur telah kami proyeksikan waktunya untuk santai-santai tapi— insya Allah— santainya yang bermanfaat. Seusai shalat ashar, waktunya bagi kami untuk siap-siap menghadapi aktifitas malam hari, ada juga yang seperti biasa mengajar TPA di Mushalla. Sedangkan yang lain juga tidak kalah sibuknya mesti menyiapkan hidangan buka buat kami semua, meskipun sebenarnya tugas tersebut sudah lebih ringan dengan adanya peran Ibu yang selalu memasakkan hidangan buka buat kami.

Waktu buka telah tiba, kami mengawalinya dengan segelas bubur kacang ijo yang dibuat oleh Mbak Umm tadi sore, pada tiap gelas tersebut ditambah dengan agar-agar yang dicetak mirip es krim yang katanya dibuat oleh Nur. Tampaknya rizki di waktu buka ini seperti tidak ada habisnya, saat Pak Tarmin sedikit telat mengantarkan es campur untuk kami yang telah buka duluan dengan bubur kacang ijo dan dua macam agar-agar. Terpaksa, pemberian Pak Tarmin itu harus menganggur dahulu selama beberapa jam yang mungkin nantinya ada dari kami yang memakan suguhan beliau tersebut.

Ba’da maghribnya barulah kami menikmati makanan berat, hidangan yang beraroma pedas cukup menggoda kami untuk mencicipinya. Padahal kebanyakan dari kami sudah tahu persis bagaimana resikonya jika makan makanan pedas yang dapat mengganggu ritual shalat tarawih nanti. Namun, tampaknya resiko itu tidak terlalu diindahkan, manakala rasa lapar telah menggelayut dari tadi. Beberapa orang dari kami tampaknya menghiraukan resiko tersebut, termasuk saya sendiri yang nanti bakal tugas ceramah di Mushalla luar. Saya memilih bungkam saja jika harus makan karo sambel yang bisa membuat saya sibuk keluar masuk kamar mandi.

Usai makan-makan, kemudian kami bersiap-siap untuk berangkat tugas keluar guna mengisi Mushalla-Mushalla. Sedangkan, yang tugasnya di sini tetap tinggal untuk mengisi Mushalla sini bersama Pak Tarmin. Saya, Yasin dan Marhalim kini mengisi di Mushalla paling jauh yang berada di ujung dusun. Walaupun jaraknya jauh kami tetap berangkat dengan jalan kaki saja, menembus pekatnya jalanan kampung yang masih minim penerangan. Sebenarnya bisa saja kami pergi dengan motor, tapi karena kami bertiga maka jalan kaki saja, mengingat setiap motor yang kami pinjam pun tidak boleh dibawa bertiga.

Sebelum pulang kami disuruh mampir dulu ke salah satu rumah jamaah yang ada di sekitar Mushalla, di rumah tersebut kami disuguhi kolak pisang yang sudah lama saya tidak merasakannya. Beberapa lama setelah kami mencicipi kolak pisang tadi, maka kami pun pamit untuk pulang ke rumah. Di jalan sebelum kami tiba di rumah, ada Ibu warung yang memanggil kami dari pintu rumahnya untuk mampir mencicipi es dawet buatan beliau. Rizki memang tidak pandang situasi, meskipun kami sudah kenyang masih saja ada yang memberi. Awalnya Ibu itu mau menyajikannya di gelas supaya kami memakannya di tempat, namun kami langsung memintanya agar dibungkus saja karena keadaan perut kami yang sudah tidak memungkinkan. Tanpa ada raut wajah yang kecewa atas permintaan kami tersebut, beliau langsung saja membungkuskannya untuk kami. Dan tidak lama kemudian, kami pun pamit meninggalkannya. Sesampainya di rumah, es dawet itu pun habis disikat oleh teman-teman. 

Begitulah Hari ke 21: Isya di Luar ini, cukup melelahkan namun insyAllah bernilai ibadah. Aamiin.[]