Hari Ke 20: Membantu Masak Bukaan
Monday, March 4, 2013
2
Comment/s
Beranjak pada Hari Ke 20: Membantu Masak Bukaan, Pukul tiga pagi umam bangunkan saya tidur, bertanya siapa yang piket masak hari ini. Namun, dia telah bertanya kepada orangnya langsung, yaitu saya. Rengekannya meminta saya untuk cepat memanaskan sayur yang sudah dimasak kemarin dengan lauk yang saya sendiri baru lihat waktu itu, yakni telur kuah santan yang diberi oleh keluarga Pak Tarmin. Saat tengah di dapur sendirian, saya tidak menyadari jika Pak Tarmin berdiri di lawang pintu dapur.
“sayurnya sudah dipanaskan?” kejut Pak Tarmin.
“hh, belum” jawab saya yang baru menyadari bahwa itu beliau.
Segera, saya langsung menyalakan kompor di samping untuk memanaskan lauk pemberian beliau tersebut. Pagi itu hanya saya saja yang sibuk di dapur, partner piket saya, Zakir masih belum bangun juga. Sedangkan, satu lagi Yohan, pergi ke Surabaya dari kemarin. Tidak mengapa, wong cuma memanaskan tok. Beberapa lama kemudian, barulah dia datang ke dapur, membantu saya yang sudah dari tadi menyiapkan sahur di dapur. Gilirannya adalah menuangkan hidangan sahur dari panci ke piring-piring. Saat semuanya sudah siap, kita mesti sibuk lagi membangunkan teman-teman yang masih tidur. Namun, ketika saya membangunkan mereka bangkit dengan segera menyambut ajakan saya tersebut.
Tinggal beberapa menit saja adzan shubuh berkumandang, sehingga tidak ada waktu luang untuk tidur-tiduran lagi, namun semua siap-siap melaksanakan shalat shubuh di Mushalla. Mushalla sederhana yang jamaahnya lumayan ada peningkatan, termasuk pada shubuh kali ini yang saya rekam terdapat satu orang jamaah luar yang melaksanakan shalat shubuh bersama kami di sana. Tapi, bukannya seorang pemuda, melainkan orang tua yang datang dengan sepeda motornya. Sebelum pulang, beliau juga menyempatkan diri bersama kami untuk wirid pagi seusai shalat shubuhnya.
Untuk mengisi hari di suasana ramadlan kali ini kami tidak mempunyai agenda kegiatan apapun selain melanjutkan pengecatan Mushalla yang belum terselesaikan juga, masih tersisa 40% kerjaan lagi yang mesti kami selesaikan. Sebelum pengecatan itu saya sendiri sedang sibuk mencuci peralatan dapur yang kotor sehabis waktu sahur tadi dipakai. Sedangkan Zakir entah berada di mana, sebab ketika saya cari di kamar dia tidak ada. Adapun yang di luar hanya Marhalim, Basirun, dan Yasin yang sedang sibuk mengecat. Saat saya lagi sibuk-beres-beres di dapur, Yasin minta saya segera bantu mereka di Mushalla yang hanya ada dua orang, sedangkan yang lain pada pergi ke luar entah ke mana.
Sampai menjelang siang tiba, di Mushalla tetap hanya kami berempat saja yang sibuk mengecat. Pekerjaan kami itu terhenti ketika modal cat yang kami punya telah habis, sedangkan beberapa sudut bagian Mushalla masih ada yang belum kena cat. Terpaksa, penyelesaian pun harus tertunda sampai menunggu dana cadangan turun. Dan ketua bilang, cat baru akan segera dibeli besok hari, insya Allah. Menjelang siang, bagiannya yang tidak ada tadi baru balik ke rumah guna beristirahat setelah seharian beraktifitas di luar.
Sebelum adzan, semuanya dibereskan lagi karena Mushalla akan digunakan untuk shalat dzuhur. Setelah shalat, waktu yang berjalan terasa begitu hambar karena biasanya ba’da dzuhur kami selalu menunggu sesuatu yang bisa dimakan, yaitu makan siang. Namun, kini waktu seakan telah dikonversi secara halus dalam suasana Ramadlan yang lebih barakah jika digunakan untuk suatu hal yang bermanfaat dari pada hanya sekadar menunggu waktunya jam makan. Maka dari itu, waktu siang ini mesti disiasati supaya mengandung nilai ibadah yang dapat diterima oleh-Nya. Terserah, apa mau membaca, mengaji, menulis, yang penting bingkai aktifitas tersebut dalam frame ibadah.
Sore hari saya sedikit terkejut oleh Husairi yang meminta saya untuk menemani Ibu masak di rumahnya.
“yang bener, nih?!”
“bener”, pungkasnya.
Kalau sudah begini, ada indikasi kalau Ibu bakal membuatkan lagi makanan buka buat kami. Betapa bingungnya kami menghadapi dan membalas rizki yang mengalir melalui Ibu ini, tidak ada yang bisa diharapkan dari kami jika diharuskan membalas pelayanan besar beliau. Kami hanya bisa mendoakan Ibu yang masih merupakan keluarga besarnya Pak Tarmin ini, mudah-mudahan Allah melimpahkan kasih dan sayang-Nya pada mereka. Amin.
Ketika saya bersama Zakir memenuhi panggilan Husairi tadi, ternyata benar, di dapurnya Ibu tengah masak-masak lalu kami pun dimintanya untuk membantu beliau. Segera, saya pun langsung mengambil alih sebuah penggorengan yang sedang tidak ada operatornya. Kerja saya hanya melanjutkan perkedel yang belum dimasak semuanya, awalnya saya dicegah beliau karena khawatirnya saya tidak bisa. Namun, ketika mendengar beberapa kata saya terkait cara menggoreng perkedel tersebut, maka Ibu pun percaya dengan sedikit memuji. Dan saat beliau melihat kerja saya menggoreng perkedel itu, bertambahlah pujiannya pada saya. Sebaliknya beliau malah menyindir hasil kerjanya Nur yang acak-acakan saat menggoreng perkedel tersebut. Di sudut lain ada Zakir yang terlihat sibuk tengah memindah-mindahkan nasi ke wadah yang berbeda, namun tidak memerlukan waktu yang lama dia mampu menyelesaikannya, lalu beralih menuangkan es cendol ke gelas-gelas.
Ketika saya bersama Zakir memenuhi panggilan Husairi tadi, ternyata benar, di dapurnya Ibu tengah masak-masak lalu kami pun dimintanya untuk membantu beliau. Segera, saya pun langsung mengambil alih sebuah penggorengan yang sedang tidak ada operatornya. Kerja saya hanya melanjutkan perkedel yang belum dimasak semuanya, awalnya saya dicegah beliau karena khawatirnya saya tidak bisa. Namun, ketika mendengar beberapa kata saya terkait cara menggoreng perkedel tersebut, maka Ibu pun percaya dengan sedikit memuji. Dan saat beliau melihat kerja saya menggoreng perkedel itu, bertambahlah pujiannya pada saya. Sebaliknya beliau malah menyindir hasil kerjanya Nur yang acak-acakan saat menggoreng perkedel tersebut. Di sudut lain ada Zakir yang terlihat sibuk tengah memindah-mindahkan nasi ke wadah yang berbeda, namun tidak memerlukan waktu yang lama dia mampu menyelesaikannya, lalu beralih menuangkan es cendol ke gelas-gelas.
Kerja kami dihentikan saat Ibu menginstruksikan kami untuk berhenti membantunya, karena memang semuanya telah selesai disiapkan. Atas perintah Ibu tersebut, maka kami pun pergi saja ke ruang tengah nonton TV bareng Rauf yang sudah dari tadi stand by di sana. Beberapa saat kemudian kami balik ke rumah lagi, mengingat kami mesti menyiapkan makanan untuk berbuka nanti yang tinggal disajikan saja.
Sebagaimana yang telah disiapkan tadi, sebelum shalat maghrib kami berbuka dengan es cendol buatan Ibu yang manis. Namun, sayang es cendol buatan Ibu tersebut tidak habis semuanya, karena ternyata Ibu membuatnya kebanyakan. Padahal, beberapa orang dari kami tengah berada di luar. Tahu begini, tadi kami tidak akan membuat banyak-banyak. Tapi, yang membuat bukan kami juga, sih. Ibu, kok. Ya, sudahlah, nanti malam habis tarawih juga mungkin ada yang minum lagi. Ibu yang membuatnya santai-santai saja, malah kita yang repot sendiri.
Ba’da maghrib, barulah kami menyantap-makanan yang berat. Sebagian dari kami yang malam ini tugasnya sebagai imam tarawih atau khotib tidak berani untuk makan banyak-banyak, karena mereka khawatir bakalan tidak kuat untuk mengimami atau berceramah dalam keadaan perut yang lagi penuh. Sedangkan saya sendiri tengah santai-santai saja, meskipun shalat tarawih nanti dalam keadaan perut yang kenyang. Karena yang penting sekarang saya sedang tidak mengimami ataupun menjadi khotib setelah tarawih. Memang, saya sendiri merasakan bagaimana ketika perut yang baru kenyang mesti mengimami shalat tarawih, sudah perasaan agak nervous malah ditambah lagi dengan keadaan perut yang tidak enak. Seperti kemarin, sebelum tarawih perasaan agak gugup, ditambah juga dengan perut yang baru kenyang. Huft, nggak enak banget. Tapi, —alhamdulillah— saat maju jadi imam lalu saya fokus dengan posisi tersebut, rasa gugup berangsur menghilang berikut dengan perut kenyang yang tidak saya rasakan lagi. Namun, tetap bagaimanapun juga kalau perut kekenyangan sungguh tidak enak sekali untuk bergerak.
Tidak lama setelah makan, yang bagiannya tugas tarawih ke Mushalla dan Masjid luar segera menyiapkan dirinya untuk berangkat, mengingat jarak yang akan mereka tempuh menuju tempat-tempat tersebut lumayan jauh dari sini. Salah-salah, mereka bisa terlambat bertugas jika terlalu berlama-lama di rumah. Di sisi lain, saya, Marhalim, dan Yasin tinggal di sini karena kami yang sekelompok tugasnya memang di Mushalla ini. Jika Marhalim jadi imam, Yasin sebagai khotibnya, sedangkan saya kosong saja karena bagian saya kemarin sudah. Bagiannya mereka berdua tugas ini, lebih lama waktu yang dihabiskannya ketimbang kemarin saya yang bertugas saat menjadi imam. Sehingga, waktu menunjukan pukul delapan tepat saat semuanya bubar dari Mushalla.
Begitulah KKN di Hari Ke 20: Membantu Masak Bukaan ini, semoga bernilai manfaat. []
Begitulah KKN di Hari Ke 20: Membantu Masak Bukaan ini, semoga bernilai manfaat. []
Judul : Hari Ke 20: Membantu Masak Bukaan
Ditulis Oleh : Unknown
Rating Blog : 5 dari 5
Ditulis Oleh : Unknown
Rating Blog : 5 dari 5
2 Comment/s:
@Darmawan Saputra wah, gak tahu ya, mungkin sih, lupa lagi soalnya.
@Darmawan Saputra oh, iya, bener. kata master blog sih ada manfaatnya. ya sudah saya ikut pasang juga.