Tokoh Filusuf Muslim | Suratan Makna

Tokoh Filusuf Muslim

Posted by Unknown Saturday, May 28, 2011 0 Comment/s
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Tokoh Filusuf Muslim
       Setelah proses Helenisasi yang dipelopori oleh Raja Makedonia, Aleksander Yang Agung yang terjadi selama berabad-abad silam di kawasan dunia belahan timur, tepatnya kawasan tersebut adalah Mesir, Syam, Irak, dan Persia, perhatian kepada ilmu dan filsafat semakin meluas di kalangan umat Islam, baik antara lain karena dialog agama antara kalangan Muslim dengan non-Muslim atau sesama Muslim, maupun karena telah berlangsungnya gerakan penerjemahan buku-buku ke dalam Bahasa Arab.
       Muncullah di kalangan Muslim para teolog yang kaya dengan wawasan ilmu dan filsafat, para ilmuwan yang lebih berkonsentrasi dengan ilmu tertentu, dan para filusuf yang selain menekuni berbagai bidang ilmu, juga menekuni filsafat.
      Para filusuf Muslim itu di antaranya adalah  Ikhwan al-Shafa’, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, dan al-Ghazali yang akan menjadi topik pembahasan kali ini.

B.       Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah riwayat dan pemikirannya Ikhwan al-Shafa?
  2. Bagaimanakah riwayat dan pemikirannya Ibnu Sina?
  3. Bagaimanakah pemikirannya Ibnu Miskawaih? Dan,
  4. Bagaimanakah riwayat dan pemikirannya al-Ghazali?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Mahasiswa mampu memahami riwayat dan pemikirannya Ikhwan al-Shafa’.
2.      Mahasiswa memahami riwayat dan pemikirannya Ibnu Sina.
3.      Mahasiswa memahami pemikirannya Ibnu Miskawaih. Dan,
4.      Mahasiswa memahami riwayat dan pemikirannya al-Ghazali.


BAB II
PEMBAHASAN


A.      IKHWAN AL-SHAFA’
1.        Identitas dan Karya Tulis
Setelah  wafatnya Al-farabi, muncul dikalangan muslim kelompok yang menyebut diri mereka sendiri dengan nama Ikhwan Al-Safa, yang berarti saudara-saudara (yang mementingkan) kesucian (batin, atau jiwa).[1]
Ikhwan Al-Safa adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia(filosofiko-religius) berasal dari sekte syiah islamiyah yang lahir ditengah-tengah komunitas sunnni sekitar abad ke-4 H/10 M di bashrah.1Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya dikalangan pengikutnya. Kerasiaan kelompak ini, yang juga menamakan diri mereka khulan AL-wafa’, ahl al-adl dan abna’ al-ham, baru terungkap setelah berkuasanya dinasti Buwaih, yang berpaham syiah dibagdad pada tahun 938 M. Ada kemungkinan kerahasiaannya ini dipengaruhi oleh paham taqiyah(menyembunyikan keyakinana) ajaran syiah karna basis kegiatannya berada ditengah sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya.
Timbulnya organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga bertendensi politik ini ada hubbungannya dengan kondisi dunia islam ketika itu. Sejak pembatalan teologi rasional Mu’tazilah sebagai mazhab negara oleh Al-mutawakkil, maka kaum rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan, kemudian diusir dari bagdad. Berikutya penguasa melarang mengajarkan kesusasteraan, ilmu, dan filsafat. Hal ini menimbulkan suburnya cara berpikir rasioonal dan meredupnya keberanian berpikir rasional ummat. Pada sisi lain, berjangkit pola hidup mewah di kalangan pembesar Negara. Maka, masing-masing golongan berusaha mendekati khalifah untuk menenangkan pengaruhnya sehingga timbul persaingan tidak sehat yang menjerumuskan pada timbulnya dekadensi moral.
Berdasarkan itulah lahirnya Ikhwan al-Shafa yang ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridloi Allah. Menurut mereka, syariat telah dinodai bermacam-macam kejahilan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat. Mereka berhasil meninggalkan karya ensiklopedis tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, yang dikenla dengan judul Rasa’il Ikhwan al-Shafa, terdiri dari 52 risalah, yang dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu kelompok risalah dalam bidang matematika, filsafat, jiwa manusia, dan kelompok risalah yang mengkaji masalah-masalah metafisika lainnya, seperti tentang Tuhan, Malaikat, jin, dan Syaithan.
2.        Pengetahuan, Filsafat, dan Agama
       Ikhwan al-Shafa membagi pengetahuan kepada tiga kelompok, yaitu: (1) pengetahuan adab/sastra, (2) pengetahuan syariat, dan (3) pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat, mereka dibagi menjadi empat bagian, yaitu: matematika, logika, fisika, dan pengetahuan ilahiah/metafisika. Pengetahuan syariah adalah pengetahuan yang nubuwwah yang disampaikan oleh para nabi, sedangkan pengetahuan adab/sastra dan pengetahuan filsafat adalah hasil upaya jiwa manusia. Bagi mereka pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan syariah atau nubuwwah, yaitu pengetahuan yang diperoleh para nabi melalui wahyu, sedangkan yang paling mulia sesudahnya adalah pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang diperoleh tidak melalui wahyu, tapi melalui pikiran akal yang mendalam.
Falsafat, menurutnya memiliki tiga taraf, yaitu (1) taraf permulaan, yaitu mencintai pengetahuan, (2) taraf pertengahan, yaitu mengetahui hakikat-hakikat dari segala yang ada sejauh kemampuan manusia, dan (3) taraf akhir, yaitu berbicara dan beramal dengan sesuatu yang sesuai dengan pengetahuan. Menurut mereka filusuf atau orang bijak adalah orang yang perbuatan, aktivitas, dan akhlaqnya kokoh, pengetahuan hakiki, tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan bahaya, dan tidak lupa meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Mengenai agama-agama yang berasal dari para nabi, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa para nabi itu tidaklah berbeda tentang apa yang mereka yakini. Para nabi hanya berbeda dalam hal syariat (peraturan) yang mereka berikan kepada ummat, yakni berbeda dalam memberikan seperangkat perintah, karangan, hukum, hukuman, dan sunnah, sebagaimana telah dikatakan dalam firman Tuhan (dan bagi setiap umat dikalangan kamu, kami jadikan suatu syariat dan cara hidup; bagi tiap umat kami berikan satu cara beribadah untuk mereka laksanakan), dan Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa perbedaan syariat itu tidak mengandung bahaya.
Adanya banyak madzhab yang berbeda dalam satu agama oleh Ikwan al-Shafa sebagai akibat wajar dari berbedanya aktualitas potensi-potensi jiwa manusia, yaitu berbeda pengetahuan dan kecenderungan mereka. Yang tidak wajar adalah bersikap fanatic terhadap suatu madzhab.

3.        Tuhan dan Emanasi Alam
Dalam pembahasan masalah ketuhanan, Ikwan al-Shafa melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka ilmu bilangan adalah “lidah” yang mempercayakan tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sikap dan tasybih serta dapat menolak orang yang mengingkari keesaan Allah. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya.
Sebagaimana filusuf muslim lainnya, Ikhwan al-Shafa juga melakukan al-tanzih dan meniadakan sifat serta tasybih pada Allah swt. Ia bersih dari bentuk dan serupa, ia adalah zat yang esa, yang tidak mampu makhluknya untuk mengetahui hakikatnya. Ia pencipta segala apa yang ada dengan cara al-faidh (emanasi) dan memberi bentuk. Ikhwan al-Shafa juga menganut paham penciptaan alam.
Ikhwan al-Shafa juga menganut paham penciptaan alam oleh Tuhan melalui cara emanasi. Menurut paham mereka, dari Tuhan memancarkan Akal Universal atau Akal Aktif, dari Akal Universal memancar Jiwa Universal, dari Jiwa Universal memancar materi pertama, bentuk-bentuk, dan jiwa-jiwa; dari materi pertama muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa-jiwa.
Tentang alam semesta, menurut Ikhwan al-Shafa, bukan kali ini, tapi baru. Karena alam semesta ini, menurut mereka, diciptakan Allah dengan cara emanasi secara gradual, mempunyai awal, dan akan berakhir pada masa tertentu.
Salah satu pemikiran Ikhwan al-Shafa yang paling mengagumkan yaitu tentang rangkaian kejadian alam secara evolusi. Darwin dalam evolusi biologisnya hanya bicara manusia diduga berasal dari kera, sedangkan Ikhwan al-Shafa membicarakan emanasi dan evolusi. Dalam rangkaian evolusinya, mereka menyebutkan alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia merupakan satu rentetan yang sambung-menyambung.

4.        Jiwa Manusia
       Jiwa manusia bersumber dari Jiwa Universal. Dalam perkembangannya, jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar dia tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibentuk oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Pengetahuan diperoleh melelui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih belum ada coretan. Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan pancaindera yang menyalurkannya ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi. Lalu meningkat ke daya berpikir yanga ada pada otak bagian tengah, hingga akhirnya menuju tingkat yang berdayakan mampu berbicara.
Dan selain indra zahir, manusia pun mempunyai indra bathin yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.

B.       IBNU SINA
Namanya adalah Abu Ali al-Husain ibn Abdillah ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal sebagai Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa yang bernama Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 370 H.[2] Dan wafat di Hamadan pada tahun 428 H. Selain telah hafal al-Qur’an seluruhnya dalam usia 10 tahun, pada usia 17 tahun pun beliau sudah menguasai dengan baik berbagai macam ilmu dan filsafat yang berkembang di masanya. Dan beliau pun telah mampu menyembuhkan penyakit Sultan Bukhara, Nuh bin Mansur dari Dinasti Samaniah pada usia tersebut. Kemudian, sejak itu pula beliau menjadi dokter istana dan dapat leluasa memasuki perpustakaan istana di Bukhara.
Karena kejeniusannya, ia dapat melaksanakan banyak tugas: praktik pengobatan, mengajar, mengarang, menjadi penasihat politik, dan bahkan menjadi wazir. Sebagai pengakuan atas kematangannya dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, dan atas kepemimpinannya dalam bidang politik, ia dikenal dengan gelar Asy-Syaikh al-Ra’is.
Dalam tulis menulis, tidak kurang dari 276 buah karya yang beliau torehkan dalam bentuk buku, risalah, dan dalam bentuk karangan ilmiah biasa (prosa) atau pula dalam bentuk syair. Dari semuanya itu, yang dianggap penting oleh para ahli adalah: Kitab asy-Syifa (terdiri dari 18 jilid, merupakan ensiklopedi besar tentang fisika, metafisika, matematika, dan logika). Kitab an-Najah (merupakan ringkasan dari Kitab Asy-Syifa). Kitab al-Qanun fi al-Tibb (ensiklopedi tentang kedokteran, dan menjadi pegangan wajib universitas-universitas Eropa sampai abad XVII M). Dan Kitab al-Isyarat wa al-Tanbihat (terdiri dari tiga jlid yang membicarakan logika, fisika, dan metafisika; yang merupakan karya tulis terakhir yang dihasilkan Ibnu Sina).[3]

1.      Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud
Dalam tulisannya, beliau berupaya menjelaskan pengertian Wajib al-Wujud (yang mesti ada) dan Mumkin al-Wujud (yang mungkin ada). Wajib al-wujud adalah wujud yang menurut akal mestilah ada, dan mustahil tidak ada. Sedangkan mumkin al-wujud adalah wujud yang menurut akal tidak mesti ada, tapi boleh ada dan boleh tidak ada pula.
Wajib al-wujud karena dirinya sendiri tidak bisa merupakan sesuatu yang mengandung bagian-bagian atau mengandung kejamakan. Ia haruslah kebenaran semata (absolut) dan esa hakiki. Wajib al-wujud karena dirinya sendiri itu tidak lain adalah Allah SWT. Sedangkan mumkin al-wujud karena dirinya sendiri tidaklah lain dari segenap alam yang diciptakan Allah.
2.     Qadim dan Muhdas
Dalam tulisannya, Ibnu Sina berupaya menjelaskan pengertian qadim (sesuatu yang tidak ada awalnya) dan muhdas (sesuatu yang diciptakan). Menurutnya, Tuhan adalah satu-satunya wujud yang qadim dari segi substansi dan dari segi waktu, sedang totalitas alam ciptaanNya adalah muhdas dari segi substansi. Itu berarti bahwa totalitas alam, substansinya bukanlah ada dengan sendirinya, tapi begantung pada substansi Tuhan, adanya karena diciptakan Tuhan.
Ibnu Sina menegaskan bahwa penciptaan alam itu berlangsung sepanjang masa, dan tidak mungkin bahwa alam itu muncul sesudah ia pernah tidak ada.
3.      Pengetahuan Tuhan
Bila dalam filsafat Aristoteles dikatakan bahwa Tuhan hanya memikirkan diriNya saja dan tidak pantas untuk memikirkan selain diriNya, Maka tidak demikian halnya  filsafat Ibnu Sina tentang pengetahuan Tuhan. Dalam salah satu tulisannya beliau menyatakan bahwa wajib al-wujud, yakni Tuhan mestilah pengetahuanNya tentang segala yang juz’i (sesuatu yang bersifat personal). Tuhan mengetahui segala sesuatu, baik yang juz’i maupun yang kulli. Ia mengetahui yang terjadi itu sebelum terjadinya, pada saat terjadinya, dan sesudah terjadinya melalui sebabnya yang bersifat kulli.
Dari keterangan di atas, maka jelaslah bahwa Ibnu Sina tidaklah menganut paham bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu yang bersifat juz’i, seperti yang pernah dituduhkan oleh al-Ghazali.
4.      Jiwa Manusia dan Hidup Sesudah Mati
Menurut beliau, jiwa adalah wujud rohani (imateri) yang berada dalam tubuh. Wujud imateri yang tidak berada dalam, atau tidak langsung mengendalikan tubuh, disebut akal. Tapi, bila berada dalam, atau mengendalikan tubuh langsung disebut jiwa.
Hanya jiwa manusia yang telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dari badan, yang akan berbahagia selamanya di akhirat, jiwa itu bahagia tanpa badan. Adapun fungsi-fungsiyang erat kaitannya dengan jasmanimenjadi lenyap bersamaan dengan berpisahnya jiwa dari tubuh itu. Adapun jiwa manusia yang pada masa bersatu dengan tubuh tidak mencapai kesempurnaan karena banyak dipengaruhi hawa nafsu tubuh, akan terus hidup selama-lamanya dalam keadaan menyesal di akhirat kelak.
5.      Nabi dan Kenabian
Menurut Ibnu Sina, sebagian manusia dianugerahi Tuhan akal potensial/material yang demikian kuat sehingga mereka tidak perlu melalui latihan atau studi keras untuk berada pada taraf siap berhubungan dengan akal aktif. Tanpa belajar atau latihan, akal potensial yang demikan kuat itu dapat dengan  mudah menerima cahaya kebenaran atau wahyu Tuhan melalui akal aktif. Potensi besar yang mereka miliki itu disebut al-hads atau al-quwwah al-qudsiyyah (daya suci). Itulah potensi/daya tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan mereka yang mendapat anugerah tersebut hanyalah para nabi saja.
Dalam tulisannya yang khusus untuk mengukuhkan adanya kenabian, Risalah fi Isbat al-Nubuwwah, berupaya menunjukan adanya perbedaan keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud, dan pada akhirnya menegaskan bahwa para nabi yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara langsung, lebih unggul dari mereka (filusuf) yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara tidak langsung (melalui perantara: latihan belajar keras).
Para nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-mahluk material. Karena yang lebih unggul harus memimpin yang diungguli, maka nabi yang harus memimpin segenap makhluk/manusia yang diunggulinya.

C.      IBNU MISKAWAIH
1.      Ketuhanan
       Tuhan adalah dzat yang tidak berjism azali dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengannya. Ia ada tanpa diadakan dan adanya tidak bergantung pada yang lain, sementara yang lain membutuhkanNya.
       Pemikiran Ibnu Miskawaih ini sama dengan pemikiran al-Farabi dan al-Kindi. Menurut De Boer, Ibnu Miskawaih menyatakan, Tuhan adalah zat yang jelas. Dikatakan zat yang jelas bahwa Ia adalah Yang Hak. Yang Hak adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkapNya, disebabkan banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupiNya. Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan.
Tuhan dapat dikenal dengan propogasi negatif dan tidak dapat dikenal dengan sebaliknya, propogasi positif. Alasannya, propogasi positif akan menyamakan Tuhan dengan alam.
Segala sesuatu di alam ini ada gerakan. Gerakan tersebut merupakan sifat bagi alam yang menimbulkan perubahan pada sesuatu dari bentuknya semula. Ini sebagai bukti tentang adanya Pencipta alam. Pendapatnya didasarkan pada pemikiran Aristoteles bahwa segala sesuatu dalam perubahan yang mengubahnya dari bentuk semula.
Sebagai filusuf religius sejati, Ibnu Miskawaih menyatakan, alam semesta diciptakan Allah dari tiada menjadi ada karena penciptaan dari bahan yang sudah ada tidak ada artinya. Di sinilah letak persamaan pemikirannya dengan al-Kindi dan berbeda dengan al-Farabi (Allah menciptakan alam dari materi yang sudah ada).
2.      Emanasi
Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun, emanasinya berbeda dengan emanasi al-Farabi. Menurutnya entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah Akal Aktif. Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia Qadim, sempurna, dan tak berubah. Dari Akal Aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet. Pelimpahan atau pemancaran yang terus-menerus dari Allah dapat memelihara tatanan di dalam alam ini. Andaikan Allah menahan pancaranNya, maka akan terhenti kemaujudan dalam alam ini.
Untuk lebih jelasnya, dapat dikemukakan perbedaan emanasi antara Ibnu Miskawaih dan al-Farabi sebagai berikut.
a.         Bagi Ibnu Miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sementara menurut al-Farabi alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.        Bagi Ibnu Miskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara menurut al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Pertama dan Akal Aktif adalah Akal yang Kesepuluh.
       Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa dalam masalah pokok Ibnu Miskawaih sejalan dengan pemikiran Guru Kedua, al-Farabi. Akan tetapi, dalam penyelesaian masalah ini lebih cenderung kepada al-Kindi dan teolog Muslim. Sebagaimana Ikhwan al-Shafa , Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi. Menurut Ibnu Miskawaih alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia merupakan suatu rentetan yang sambung-bersambung. Antara setiap alam tersebut terdapat jarak waktu yang sangat panjang. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan terjad melalui merjan. Dari alam tumbuh-tumbuhan ke alam hewan melalu pohon kurma dan dari alam hewan ke alam manusia melalui kera.

3.      Kenabian
       Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat pula memperkecil perbedaan antara nabi dengan filusuf dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara wahyu dan akal.
Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh Akal Aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh para filusuf. Perbedaannya hanya terletak pada teknik memperolehnya. Filusuf mendapatkan kebenaran tersebut dari bawah ke atas, yakni dari daya indrawi menaik ke daya khayal dan menaik lag ke daya berpikir yang dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran dari Akal Aktif. Sementara itu, nabi mendapatkan kebenaran diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari Akal Aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allah. Dari itu sumber kebenaran yang diperoleh nabi dan filusuf adalah sama, yaitu Akal Aktif. Pemikiran ini sejalan dengan apa yang dikemukakan al-Farabi sebelumnya.
Penjelasan di atas dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibnu Miskawaih berusaha merekonsiliasikan antara agama dan filsafat, dan keduanya mesti cocok dan serasi, karena sumber keduanya sama. Justru itulah filusuf adalah orang yang paling cepat menerima dan mempercayai apa yang dibawa nabi karena nabi membawa ajaran yang tidak bisa ditolak akal dan tidak pula bertentangan dengannya. Namun demikian, tidak berarti manusia tidak memerlukan nabi karena dengan perantaraan nabi dan wahyulah manusia dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat, yang dapat membawa manusia pada kebahagiaan. Ajaran ini tidak dapat diketahui manusia kecuali para filusuf, dengan kata lain, sangat sedikit kuantitas manusia yang dapat mencapainya. Hal ini disebabkan filsafat tidak dapat ditangkap semua lapisan masyarakat.
Persamaan antara nabi dan filusuf, bagi Ibnu Miskawaih, adalah dalam pencapaian kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan, dan kemaksuman.

4.      Jiwa
       Menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi . Ia akan hidup selalu. Ia tidak dapat diraba dengan pancaindra karena ia bukan jism dan bagian dari padanya. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan ia mengetahui ketahuan dan keaktivitasannya. Argumen yang dimajukannya ialah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan badan tidak dapat demikian. Statemen yang terakhir di atas, dimaksudkan Ibnu Miskawaih untuk mematahkan pandangan kaum materialis yang meniadakan jiwa bagi manusia. Ternyata Ibnu Miskawaih berhasil membuktikan adanya jiwa pada manusia dengan argumen sepert di atas. Namun, jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.
       Jadi, Ibnu Miskawaih mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat dibagi-bagi itu tidak mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun, demikian jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan nonmateri yang sederhana.
Dalam kesempatan lain, Ibnu Miskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan pengetahuan pancaindra. Secara tegas ia katakan bahwa pancaindra tidak dapat menangkap selain apa yang dapat diraba atau diindra. Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap pancaindra, yakni yang dapat diraba dan juga yang tidak dapat diraba.
Tentang alasan di akhirat, sebagaimana al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan di akhirat. Karena, menurutnya, kelezatan jasmaniah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.

5.      Akhlaq
Ibnu Miskawaih seorang moralis yang terkenal. Hampir setiap pembahasan dalam Islam, filsafatnya ini selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam dan dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Dimaksud dengan pelengkap di sini adalah sumber lain baru diambilnya apabila sejalan dengan ajaran Islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak demikian.
Ibnu miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlaq manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibnu Miskawaih akhlaq yang tercela bisa berubah menjadi akhlaq yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan. Kebenaran ini tidak dapat dibantah, sedangkan akhlaq atau sifat binatang saja bisa berubah dari liar menjadi jinak, apalagi akhlaq manusia.
Demikianlah pembahasan tentang pemikiran filusuf Muslim Ibnu Miskawaih. Kendatipun ia terpengaruh dengan pemikiran Yunani, namun ajaran Islam memiliki pengaruh yang paling dominan dalam filsafatnya. Filsafat akhlaq Ibnu Miskawaih merupakan falsafatnya yang paling utama dan terpenting, karena itu wajar kiranya namanya diidentikan dengan filsafatnya ini.



D.      AL-GHAZALI
       Al-Ghazali hidup dari  tahun 450 H/1058 M sampai dengan tahun 505 H/1111 M. Dia lahir di desa Gazaleh dekat Tus. Dia belajar di Tus, Jurjan, dan Nisyapur. Di Nisyapur inilah dia dalam usia 20-28 tahun berguru dan bergaul dengan Imam al-juwaini (Imam al-haramain). Selanjutnya dia bermukim di Mu’askar (komplek tentara) selama 5 tahun, dan di baghdad selama lima tahun berikutnya. Di baghdad inilah dia menjadi pemimpin dan guru besar Madrasah Nizamiyah Bagdad.  Di baghdad dia berupaya keras mempelajari falsafah dengan menulis buku Maqosid al-falasifah (tentang pemahaman pemahaman para filosof). Kemudian mengkritik argumen argumen filosof, dengan menulis tahafut al-falasifah (ketidakkonsistena para filosof), dalam rangka memberikan kesan tentang kelemahan dan kekacauan pemikiran pemikiran para filosof muslim, seperti : al-kindi, al-farabi, dan ibnu sina.[4]
       Al-ghazali menjalani kehidupan tasawuf selama 10 tahun di damaskus, yerusalem, mekah, medinah, dan tus. Setelah mengajar lagi di Nisyapur selama dua tahun, dia kembali lagi ke tus mendirikan khankah (pusat latihan) bagi calon sufi beberapa tahun menjelang wafatnya di Tus itu dalam usia 55/54 (H/M). Al-ghozali adalah faqih, mutakallim, dan sufi ; dia mahir berbicara dan amat produktif dalam mengarang. Karya tulisnya lebih dari 228 buku/risalah. Karya tulisnya yang paling populer adalah Ihya’ ‘Ulumu al-Din (Menghidupkan Ilmu Ilmu Agama).
       Pengaruh filsafat dalam diri Imam al-ghozali begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.”[5]
       Bukti bukti yang mendukung kalau Imam al-ghozali adalah filosof adalah sebagai berikut :
1)      Al- ghozali dalam menulis kitab kitabnya di tujukan untuk menyerang berbagai kalangan tertentu seperti fuqoha, filosof, dan teolog
2)      Bahwa hakikatnya ang menjadi cirri keyakinan al- ghozali adalah hakikat tasawuf.
3)      Bahwa masalah-maslah yang di bahas al-ghozali dan pendapat pendapat yang di kemukakan, termasuk inti masalah yaitu apa yang di sebut dalam kalangan filosof filsafat agama.[6]

1.      Al-Ghazali dan Pemikirannya
a)      Pemikiran Filosofis
     Pokok-pokok pemikiran filosofis al-Ghazali, ketika menyanggah teori metafisika ibn sina dalam bukunya Tahafut al-Falasifah adalah sebagai berikut :
Pertama: Bahwa Allah SWT hanya mengetahui segala hal-hal yang besar-besar. Kedua: Bahwa alam semesta ini adalah azali atau kekal, tanpa permulaan.
Ketiga: Bahwa di akherat kelak yang di himpun hanyalah ruh, manusia bukan jasadnya.
b)      Filsafat ketuhanan
Bahwa dalil-dalil akal saja tidaklah dapat untuk mengenal tuhan dengan sebenarnya, karena pengetahuan akal sangat terbatas, justru itu Tuhan membantu aktivitas akal yang terbatas itu dengan wahyunya,sebagai alat untuk mengenal Tuhan secara ringkas konsep ketuhanan yang di sampaikan al-Ghazali terdapat 3 pokok pemikiran yaitu:
Pertama: Masalah wujud. Dalam penetapan masalah wujud tuhan ini Al-Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al- Asyari, Beliau menggunakan dalil aqli dan dalil naqli. Melalui dalil naqli yaitu melalui perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran atas fenomena alam yang serba teratur manusia akan sampai mengakui wujud Tuhan. Sedangkan secara dalil aqli al-Ghazali mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah”Qadim” sedangkan wujud makhluk adalah “ Hadis” wujud yang hadis (bahar) menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya,sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum sampai pada yang “qadim” yang tidak di cipta dan tidak di gerakkan. Sedangkan wujud Allah, jika ia hadis tentu akan menghendaki sebab musabab seperti itu juga, yang sudah pasti takkan ada pangkal pokok geraknya. Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan takkan menghasilkan.
Kedua : Masalah zat dan sifat Tuhan. Dalam membahas hal tersebut Al-Ghazali membatasi diri dengan mengemukakan hadis nabi SAW yang mendorong menusia memikirkan zat Allah. Dari itu ia menegaskan, bahwa akal manusia tidak akan sampai mencapai zat itu. Cukuplah bagi itu manusia hanya mengetahui sifat af’al-nya saja.
Ketiga: Masalah af’al. dalam masalah ini Al-Ghazali berpendapat,bahwa perbuatan Allah tidaklah terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi ia juga menciptakan perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah. Manusia hanya di beri kekuasaan dalam lingkungan kehendakTuhan. Jadi pembuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas, dan tidak akan melampagaris-garis qadar. Dalam hal ini al-ghazali mengembalikan permasalahan kepada firman Allah: “Allah sesatkan siapa yang di kehendaknya dan ia beri hidayah kepada siapa yang dia kehendaki.” ( QS. Ibrahim ayat 4)

2.      Dua Puluh Pendapat Yang Dikritik
       Menurut Imam al-Ghozali, para filosof muslim :
a)      Berpendapat bahwa alam itu azali.
b)      Berpendapat bahwa alam itu abadi.
c)      Berpendapat bahwa Allah SWT adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan-Nya
d)     Menetapkan adanya pencipta
e)      Membangun argumen untuk menunjukan kemustahilan adanya dua Tuhan
f)       Menafikan (meniadakan) sifat sifat Tuhan
g)      Berpendapat bahwa subtansi al-awwal (Tuhan) adalah bukan    jenis (genus) dan bukan pula diferensia
h)      Berpendapat bahwa al-awwal (Tuhan) adalah wujud yang simpel tanpa esensi
i)        Berpendapat bahwa al-awwal (Tuhan) itu bukan tubuh (sebagai akibat yang mesti), seharusnya mereka mengatakan adanya masa dan meniadakan Pencipta.
j)        Berpendapat bahwa al-awwal (Tuhan) mengetahui selain diri-Nya.
k)      Berpendapat bahwa Ia (Tuhan) mengetahui subtansi-Nya.
l)        Berpendapat bahwa al-awwal (Tuhan) tidak mengetahui juz iyyat (yang juz’I/individual/partikular).
m)    Berpendapat bahwa langit adalah hewan yang bergerak dengan iradah (kehendak).
n)      Memberikan keterangan tentang tujuan yang menggerakan bagi langit.
o)      Berpendapat bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua juz iyyat (semua yang juz’i/individual/partikular).
p)      Menyatakan kemustahilan terjadinya kejadian luar biasa.
q)      Berpendapat bahwa jiwa manusia adalah subtansi yang berdiri dengan dirinya sendiri, bukan dengan tubuh, bukan pula dengan aksiden
r)       Menyatakan kemustahilan fana’ – nya jiwa jiwa manusia dan mengingkari kebangkitan tubuh tubuh manusia, untuk merasakan kesenangan jasmaniah di surga dan kepedihan jasmani di neraka.

3.      Tiga Pendapat yang Dikufurkan
       Pada akhir dari bukunya, Tahafut al-Falasifah, Al-ghozali mengkafirkan paham nomor (1)  yakni pendapat bahwa  alam itu azali atau qodim, paham nomor (13) yakni pendapat bahwa tuhan tidak mengetahui juz iyyat, dan paham nomor (20) yakni paham yang mengingkari akan adanya kebangkitan tubuh di hari akhir. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa siapa yang menganut ke-tiga paham tersebut berarti jatuh ke dalam kekafiran. Sedang paham-paham yang lain bila di anut tidak membawa ke kekafiran akan tetapi paham tersebut tidak benar atau tidak kuat argumentasinya. Intisari dari pemahaman Al-ghozali terhadap tiga paham yang di kafirkannya itu dapat di kemukakan sebagai berikut :
       Pertama, tentang qodim-nya alam. Bagi al-ghozali, bila alam di katakan qodim (tidak pernah ada) maka mustahil dapat di bayangkan bahwa alam itu di ciptakan oleh tuhan. Jadi qodim-nya alam menurut al-ghozali membawa kepada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, dan ini bertentangan dengan ajaran al-qur’an yang menyatakan bahwa Allah SWT yang menciptakan alam semesta ini.
       Kedua, tentang bahwa tuhan tidak mengetahui juz iyyat. Paham ini bukanlah paham yang di anut oleh filosof muslim akan tetapi paham ini di anut oleh aristoteles. Tuhan mengetahuio yang juz’I itu dengan pengetahuan yang tidak berobah, dan ini dapat di pahami seperti tidak berobahnya pengetahuan tentang sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat di pahami denga pengertian bahwa tuhan telah mengetahui hal-hal yang juz’I dengan pengetahuan yang azali dan tidak berobah. Jadi tidak benar kalau yuhan itu tidak mengetahui sesuatu yang bersifat juz’i.
       Ketiga, tentang Paham Pengingkaran Kebangkitan Jasmani di Alam Kubur/Akhirat. Menurut al-ghozali gambaran al-qur’an dan hadits tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu kepada kehidupan rohani saja, tapi pada kehidupan yang bersifat rohani dan jasmani. Jasad-jasad di bangkitkan dan di satukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia, untuk merasakan kenikmatan surga dan siksaan nerakan yang bersifat jasmani dan rohani.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
       Berpijak dari uraian di atas, maka dapatlah kita simpulkan bahwa di antara pemikiran-pemikiran yang telah dikemukakan oleh para pemikir Islam di atas terdapat persamaan yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Terkait masalah jiwa manusia Ikhwan al-Shafa’ dan Ibnu Miskawaih mengangkat sebuah pendapat bahwa jiwa manusia adalah substansi sederhana, tidak bisa ditangkap oleh indera jasmani yang awalnya mempunyia pengetahuan aktual. Namun, ketika jiwa itu menyatu dengan tubuh, pengetahuan itupun hanya berupa potensial saja yang memerlukan daya indera jasmani untuk memunculkannya kembali.
Antara pendapat Ikwan al-Shafa dan Ibnu Miskawaih tentang jiwa manusia, bermuara pada pendapat Ibnu Sina dengan menambahkannya, bahwa jiwa manusia yang menyatu dengan tubuh sangat berpotensi pada ketidaksempurnaan jiwa tersebut yang akan mendatangkan kesengsaraan di akhirat. Dan jiwa pun tidak menutup kemungkinan berpotensi meraih jiwa sempurna yang kelak mendatangkan kebahagiaan di akhirat.

B.       Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka ada baiknya bagi kita yang telah mengkaji makalah ini untuk lebih mengorientasikan diri pada kesempurnaan jiwa dengan memaksimalkan segala daya/potensi kejiwaan yang kita miliki guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas Atau Pistovisitas. Jakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Ali, Yusril, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Al-maududi, Abdul A’la, Sejarah Pembaharuan dan Pembangunan Kembali Alam Pemikiran Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984.
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan, 2003.
Mustofa, Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Shadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Syarif, Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1994.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.




[1] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 79.
[2] Mustofa, Filsafat Islam(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hal. 188.
[3] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 93.
[4] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 105.
[5] Majmu’ fatawa 6/54
[6] Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hal. 217.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA

Judul : Tokoh Filusuf Muslim
Ditulis Oleh : Unknown
Rating Blog : 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://suratanmakna.blogspot.com/2011/05/tokoh-filusuf-muslim.html. Sekali lagi terima kasih sudah singgah membaca artikel ini. ^_^

0 Comment/s: