Hari Ke 2: Makan Bersama di Atas Bukit | Suratan Makna

Hari Ke 2: Makan Bersama di Atas Bukit

Posted by Unknown Friday, January 4, 2013 2 Comment/s
Hari Kedua, 3 Juli 12: Makan Bersama di Atas Bukit

Setelah hari pertama, lembaran hari kedua KKN kami buka dengan aktifitas shalat lail yang dimulai jam setengah 4 pagi, dan diimami oleh Ust. Irsyad sebagai ketua kelompok. Meskipun hawa dingin yang dibawa hembusan angin kencang pagi itu terasa menusuk tulang, shalat lail pun masih bisa berjalan dengan khusyuk. Usai shalat lail, Adzan Shubuh dikumandangkan oleh muadzin yang sebagaimana telah ditetapkan. Mahasiswa STAIL hanya bisa membentuk 2 shaf setengah dengan 5 orang yang mengisi di tiap-tiap shafnya. Memang, namanya juga Mushalla, jangan heran jika kapasitasnya hanya segitu saja. Seragam yang dikenakan waktu shalat didominasi oleh Jaket tebal khusus KKN yang menggambarkan betapa dinginnya shubuh waktu itu dan dipadukan dengan sarung serta peci menghiasi kepala.


Sebagaimana aktivitas di kampus, usai shalat shubuh kami pun wirid 10 menit dan dillanjutkan dengan kultum selama tujuh menit –ya, iyalah namanya juga kultum. Ya tujuh menit.– kultum tersebut diisi oleh ust. Husairi yang menyampaikan intisari dari pada hadits Arbain Nawawi nomor pertama yang mengupas masalah niat. Dengan kelihaian beliau sebagai “Singa Podium”, materi yang disampaikan cukup jelas sekali dan dapat dipahami oleh jama’ah yang menyimak. Namun, tetap tidak dapat dipungkiri juga bahwa masih ada saja sebagian dari pada jamaah yang menyimak di alam bawah sadarnya. 

Langit terbilang masih gelap saat mahasiswa KKN memulai kesibukannya pagi itu. Rencananya mahasiswa mau membantu Pak Tarmin mengecor kamar mandi, namun dikarenakan pasir yang dipesan belum juga tiba, maka kami pun beralih ke proyek pembangunan tandon yang ada di puncak bukit. Sebelum pengerjaan “mega proyek” tersebut, mahasiswa cukup disibukkan dengan pencarian sinyal di HP-nya. Sang ketua kelompok pergi ke tanjakan jalan yang ada di sebelah utara guna memburu sinyal. Konon, di tanjakan sana Telkomsel dan Indosat lah yang sinyalnya kencang dan melaju. Namun, tetap tidak ada harapan untuk modem yang dipasangi kartu Tri. 

Usai sarapan pagi dua orang tinggal di pos, sedangkan sembilan orang lainnya berangkat mengerjakan “mega proyek" tandon masyarakat. Terkait dua orang yang tinggal di pos tersebut, mereka sibuk dengan perbaikan speaker yang sudah lama rusak. Speaker tersebut sangat berguna sekali untuk menunjang aktifitas Mushalla. Sekitar 2 km jarak antara Pos ke Puncak Bukit dilalui lewat berbagai macam medan yang cukup menantang. Turunan, tanjakan, turunan lagi, tanjakan lagi, turunan lagi, belokan, dan tanjakan lagi barulah kita sampai di Puncak Bukit tersebut. 

Setibanya di puncak, kami ditunggu sebuah bangunan yang tersusun dari rangkaian batu bata yang baru rampung 70%. Bentuknya menyerupai Ka’bah di Mekah, namun dasar bangunan yang akan dijadikan tandon tersebut lebih rendah dari permukaan (bukit). Untuk masuk ke dalam tandon, pekerja harus naik melalui tangga yang terbuat dari kayu. Ketika kami tiba di sana sudah ada 3 orang bapak-bapak yang melakukan aktifitas ngecor di dalam tandon yang belum jadi tersebut. Melihat hal itu, dua orang dari kami pun berinisiatif membantu di dalam, sedangkan yang lain masih terbuai dalam indahnnya alam asri Puncak Bukit. 

Di tengah “sesi pemotretan”, kami yang di luar disuruh teman kami yang ada di dalam untuk mengambil karungan pasir yang ada di kaki bukit. Dari tujuh orang yang tengah santai-santai tersebut, empat orang turun ke bawah. Sesampainya di bawah saya bersama tiga orang teman saya menemukan sejumlah karung berisi pasir yang beratnya diperkirakan sekitar 70 kg. Kami tidak langsung mengangkatnya ke puncak, sebelum teman kami yang lain turun membantu mengangkat pasir tersebut. Lama kami beristirahat di kaki bukit, menunggu tiga orang teman kami yang lain yang masih di atas. Ditunggu-tunggu, malah tidak muncul juga. Akhirnya kami pun mengangkat karungan pasir yang berat itu ke atas. Jujur, saya sendiri kepayahan mengangkatnya. Hampir tidak bisa mengangkatnya sama sekali. Tapi, untungnya ada setengah karung pasir yang nganggur yang bisa menutupi gelagat nganggur saya.  Dengan lancarnya saya angkat pasir tersebut ke atas bukit, sedangkan teman saya yang lain tengah dalam kepayahan mengangkat pasir yang lebih berat.

Seorang teman saya yang kepayahan tersebut bilang bahwa lututnya serasa mau lepas saat punggungnya ditimpuk karung berat, yang lainnya malah lebih kepayahan lagi padahal badannya lebih besar dari pada saya. Namun, akhirnya karung-karung tersebut bisa sampai di puncak juga setelah kami melakukannya dengan gotong royong. Sebelum kami mengakhiri pekerjaan di puncak bukit, sejumlah hidangan makan siang telah menyambut kami yang sudah kepayahan dan menghapuskannya dengan kenikmatan makan bersama. 

Dalam perjalanan pulang dari bukit kami tidak melalui jalan yang sama saat keberangkatan tadi, seorang warga yang tadinya ikut bekerja, mengantar kami pulang melalui jalan pintas yang lebih cepat sampainya. Sesampainya di Pos, kamar mandi menjadi serbuan mahasiswa untuk membersihkan diri. Tidak lama kemudian adzan pun berkumandang menandakan tibanya waktu shalat dzuhur.

Aktifitas siang itu kemudian berlanjut ke program masing-masing, ada yang sibuk membaca, duduk di depan laptop, muraja’ah, dan ada pula yang tidur kelelahan sampai menjelang ashar setelah tadi kerja cukup berat di atas bukit.

Ba’da ashar, anggota pos dikoordinasikan dibagi menjadi beberapa kelompok untuk menyebar bersilaturahmi ke rumah-rumah warga. Saya, Fahrurrazi, Zakir, dan Marhalim berangkat ke arah Utara menemui beberapa warga kampung saja. Selain itu, kami juga menemukan sebuah mushalla yang menurut informasi Pak Sahid seorang warga yang kami temui di rumahnya mengatakan bahwa mushalla yang kami temukan tersebut hampir tidak ada sama sekali aktifitas keagamaannya. Shalat wajib saja hanya maghrib yang ada jamaahnya, selain dari pada itu kosong dikarenakan warga sibuk di ladang. 

Memang, warga di sini mayoritas adalah petani. Banyak warga yang menanam jagung, tembakau, kelapa, sawit, dan lain-lain. Kelapa sawit di sini merupakan tanaman baru bagi masyarakat desa Purwodadi, sehingga masih banyak warga yang menanamnya atas dasar coba-coba. Kecuali dusun yang kami tinggali ini sudah mematenkannya menjadi mata pencaharian yang cukup diandalkan.

Usai bersilaturahmi, kami pun balik ke pos dan bersiap-siap untuk shalat maghrib. Setelah shalat maghrib, kami masih dimasakkan makan malam. Ya, ini menyalahi kesepakatan kita dengan tuan rumah. Tapi, penyebabnya cukup beralasan, mengingat perabotan dapur yang belum kami siapkan. Dan rencananya mahasiswa akan masak di dapur berbeda, yaitu dapur buatan yang memanfaatkan ruang kosong di luar rumah Pak Tarmin.

Saat shalat Isya selesai, mahasiswa melakukan rapat evaluasi yang diagendakan setiap hari. Dipimpin oleh ketua kelompok Pos I, rapat berjalan dengan baik dan singkat saja. Begitulah  Hari Kedua, 3 Juli 12: Makan Bersama di Atas BukitJam menunjukan pukul sembilan malam, sebagian ada yang pergi tidur, membaca buku, muraja’ah hafalan qur’an dan ada juga yang sibuk di depan netbooknya. []
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA

Judul : Hari Ke 2: Makan Bersama di Atas Bukit
Ditulis Oleh : Unknown
Rating Blog : 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://suratanmakna.blogspot.com/2013/01/hari-kedua-rabu-4-juli-12.html. Sekali lagi terima kasih sudah singgah membaca artikel ini. ^_^

2 Comment/s:

zachflazz said...

asyiiik. maju terus KKN-nya. semoga lancar dan sukses, juga sehat selalu ya Mas.

Unknown said...

@zachflazziya, Alhamdulillah mas. KKN-ny sudah beres kok.