Hari Ke 9: Tadabbur Alam ke Pantai | Suratan Makna

Hari Ke 9: Tadabbur Alam ke Pantai

Posted by Unknown Saturday, February 2, 2013 0 Comment/s

Hawa dingin pagi ini benar-benar  telah membangunkan saya, pukul setengah empat saya benar-benar terperanjat dari sofa ruang tengah tempat saya tidur semalaman. Tidak seperti biasanya, sekarang ini hawa dingin seakan-akan telah menerobos dan merobohkan dinding rumah  pos kami. Begitu berbeda dengan Hari Ke 8: Repot, Piket Lagi sekarang dinginnya begitu melekat di badan, bagaikan embun yang melekat pada dedaunan di pagi hari. Meskipun dingin ini begitu sangat, namun tetap kupaksakan untuk menerjangnya. Pikirku, mau nunggu sampai kapan lagi dingin itu mau berubah menjadi hangat.

Akhirnya, setelah tadi mengambil air wudlu dari kamar mandi, hawa dingin itu malah tambah dingin lagi yang dikarenakan cipratan airnya yang dingin juga. Segera kuberanjak ke kamar meraih jaket KKN yang cukup tebal dan hangat itu, dan ternyata memang ampuh badan tidak terlalu terasa dingin lagi saat mengenakan jaket tersebut. Dan sampai jam lima pagi pun saya masih tetap memakai jaket KKN itu. Beranjak dari Mushalla, saya langsung santai-santai dengan netbook saya guna menyelesaikan cerita hari kemarin yang belum kelar. 

Saat mood terasa bosan, saya pun beralih dan pergi keluar rumah mencari sinyal guna menghubungi Aibara yang sudah cukup lama tidak berkomunikasi  dengannya. Sesampainya di jalanan yang menanjak, barulah saya dapatkan sinyal HP-nya. Sulit memang, kalau pakai HP di sini. Cukup tiga puluh menit saja saya berada di luar, kemudian kembali ke Pos lagi melanjutkan tulisan sekaligus menunggu masaknya makanan yang dibuat dari tadi pagi. Kali ini yang dapat giliran masak, yaitu Umam dan Irsyad. Seperti biasa, selain cuma memasak mereka juga mesti bersih-bersih rumah dan yang lainnya. 

Karena pekerjaan rumah itu juga, mereka berdua jadi harus rela tinggal di rumah dan tidak ikut dengan kami ke pantai yang berjarak sekitar 7 km dari rumah Pos, dari jarak 7 km tersebut perjalanan menuju pantai membutuhkan waktu sejam lamanya. Agenda hari itu adalah saatnya bagi kami untuk tadabbur ke pantai, bersama keluarga besar tuan rumah kami berangkat ramai-ramai tepat setelah sarapan pagi selesai. Selain itu, semua anggota Pos lima juga ikut bersama kami. Sehingga terhitung ada sekitar dua puluhan orang, rombongan kami pergi ke pantai menyusuri sela-sela bukit yang terdiri dari hutan jati, pohon mahoni, dan ladang-ladang milik warga sekitar. Adapun medan yang kami lalui sangat beragam pula, di awal perjalanan kami mesti melalui jalanan yang berbatu, kemudian jalan tanah biasa yang lebih mudah untuk dipijaki, masuk ke hutan yang sejauh mata memandang dipenuhi jati yang tertata rapi, dari hutan jati masuk ke area perhutani yang ditumbuhi pohon mahoni, masuk lagi ke wilayah perkebunan warga yang seperti biasa banyak ditumbuhi tembakau dan kelapa sawit. Perjalanan masih berlanjut saat kami mesti melewati turunan terjal yang cukup berbahaya, kami harus berhati-hati dengan setiap langkah yang diambil. Salah-salah, kami bisa terjatuh dengan kepala terbentur ke bebatuan yang tajam di kanan-kirinya.

Usai menuruni jalan yang terjal, kami kembali memasuki area perkebunan warga yang tembus langsung ke pantai. Itu artinya, kami telah sampai di pantai. Semak belukar bercampur dengan sampah bekas pembakaran membuka jalan kami menuju pantai tersebut, tidak ketinggalan juga banyak sekali pohon kelapa yang tumbuh menghiasi pantai yang cukup menggiurkan kami untuk mencicipinya. Seolah Pak Tarmin menjawab isi hati saya, tahu-tahu beliau membawa beberapa kelapa muda yang warna kulitnya asli masih hijau semuanya. Namun, kelapa muda yang baru dipetik tersebut kami tinggal dulu, karena pantai yang indah dan masih sangat alami itu lebih menarik perhatian kami ketimbang kelapa muda tadi. Kemudian saya berlari tak terkawal meninggalkan apa yang ada di belakang saya, semakin kencang kumendekat menghampiri ombak yang menyiur dari lautan Hindia. Sejurus gerakan tubuh, kuhempaskan saja badan saya  ke tengah-tengah ombak pantai selatan yang besar itu. 

Dalam jarak yang terukur, kami bermain cukup hati-hati dengan ombak besar itu. Mengingat sudah banyak kasus yang terjadi terkait pantai tersebut, menurut cerita warga, seseorang pernah tewas terseret ombak dan sampai sekarang jasadnya belum diketemukan. Oleh karena itu, kami tidak berani bermain-main hingga ke tengah. Tadi saja, karena terlalu asyik main-main, aksi salah seorang teman saya, Husairi membuat khawatir warga yang ikut bersama kami dan jelas kekhawatiran warga tersebut sangat beralasan ketika melihat teman saya yang berlarian menuju sudut berbahaya dari pantai tersebut, spontan warga yang lebih tahu tentang pantai itu berteriak memanggil teman saya, namun tidak dihiraukan. Melihat kekhawatiran tersebut, saya bersama yang lainnya juga berteriak memanggil dia, tapi tetap diabaikan juga. Akhirnya, seorang teman yang posisinya lebih dekat dengannya mengejar hingga langkahnya terhenti saat dijatuhkan ke air. Yang membuat saya heran, dari cara berlarinya teman saya ini seolah-olah tidak mendengar ketika kami berteriak padanya, terus saja berlari.

Pantai tersebut bertemuan langsung dengan hilir sungai, yang biasa kita sebut sebagai muara. Dari pasirnya tampak berkilau, yang menurut penuturan teman saya itu dikarenakan biji besi yang terkandung pada pasir tersebut. Karena di pantai tidak bisa berenang bebas,  maka kami pun pergi ke sungai yang arusnya tenang tidak seperti di pantai. Namun, sebenarnya saya sendiri takut berenang di daerah muara tersebut, mengingat ganasnya buaya muara yang habitatnya pas di perairan tenang seperti itu. Tapi, menurut warga yang sering berada di sini tidak ada buaya di sungai tersebut. Setelah penjelasan itu, maka dengan percaya diri kami pun berenang ramai-ramai. 

Saat berenang, kami merasakan suhu air sungai tersebut tidak konsisten, unik sekali. Bagian air yang berada di dasar sungai terasa hangat sekali, hampir terasa panas. Sedangkan, air di bagian permukaan sungai terasa dingin. Dan menurut teman saya lagi, itu diakibatkan biji besi tadi yang terkandung di dasar sungai tersebut yang  berupa pasir dan sedikit lumpur. Selain bermain air, kami juga tidak melewatkan sesi pemotretan yang biasa menjadi agenda rutin kami jika menyinggahi suatu tempat yang jauh, apalagi tempat eksotis seperti pantai. 

Setelah satu jam lamanya berenang di sungai tersebut, akhirnya kami pun memutuskan untuk balik ke rumah dengan menempuh satu jam perjalanan pulang yang bermedankan naik turun bukit, sungguh melelahkan. Setibanya di rumah, kamar mandi pun menjadi rebutan kami. Menjelang waktu dzuhur tiba, semua urusan saya di kamar mandi selesai dan hanya menyisakan beberapa orang saja yang belum beres.

Ba’da dzuhur, kebanyakan dari kami langsung pergi untuk istirahat siang. Mengingat sepulang dari pantai, cukup menguras tenaga dan membuat kami merasa kelelahan. Sampai tibanya waktu Ashar, kami tidur dan terbangun saat adzan berkumandang. Saat itu Mushalla sudah tampak anak-anak TPA yang baru datang untuk mengaji, padahal ngaji baru akan dimulai dua puluh menit setelah shalat Ashar selesai. 

Pada kesibukan yang lain, kami berencana pergi bersilaturahmi ke rumah warga. Namun, hal itu diurungkan mengingat situasi yang tidak kondusif. Setelah maghrib barulah silaturahmi dilancarkan, kami menuju sebuah Mushalla yang hampir tidak ada jamaahnya sama sekali. Mushalla tersebut ramai hanya saat maghrib tiba, sedangkan waktu shalat yang lain kosong. Sebenarnya Mushalla tersebut tergolong bagus dan cukup terawat. Tapi, meskipun begitu tetap saja tidak menjadi daya tarik warga untuk giat beribadah di sana. Mushalla tersebut diamanahkan kepada seorang warga berumur 67 tahun yang cukup terkenal oleh warga lain, beliau pernah hidup di Ambon. Namun, karena peristiwa kerusuhan Ambon yang sering terjadi, maka beliau pulang ke kampungnya ini. Karena rusuh di Ambon tersebut, rumahnya yang dulu bernilai mencapai ratusan juta rupiah itu menjadi sasaran pengeboman yang dilakukan oleh para perusuh setempat. Bekas harta yang ditinggalkan dari pengeboman itu tidak ada selain baju yang melekat di tubuh beliau saat berhasil selamat dari kerusuhan itu. Oleh sebab itulah, beliau tidak betah lalu pulang kampung ke sini. Mendengar cerita beliau tersebut, kami pun menjadi terenyuh. Melihat kegigihan beliau yang sampai sekarang ini bersemangat menjalani kehidupannya yang berbeda dengan sebelumnya saat masih di Ambon dulu. 

Tidak terasa malam telah cukup larut, dari tadi maghrib sampai malam jam sepuluh kami asyik mengobrol dan dilayani dengan baik oleh bapak itu. Namun, sekarang lah saatnya untuk mengakhiri kunjungan tersebut sekaligus akhir dari Hari Ke 9: Tadabbur Alam ke Pantai. []
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA

Judul : Hari Ke 9: Tadabbur Alam ke Pantai
Ditulis Oleh : Unknown
Rating Blog : 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://suratanmakna.blogspot.com/2013/02/hari-ke-9-tadabbur-alam-ke-pantai.html. Sekali lagi terima kasih sudah singgah membaca artikel ini. ^_^

0 Comment/s: